Analisa
Kasus Kartel Ayam Yang Dilakukan Oleh 12 Perusahaan Besar
Kasus Kartel Ayam Merugikan Peternak Kecil |
A.
POSISI KASUS
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutus
bersalah 12 perusahaan dalam praktik kartel ayam. "Terlapor 1, 2, 3, 4,
5,6,7,8,9,10,11 dan 12 terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 11
Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha," kata ketua majelis hakim KPPU Kamser Lumbanraja dalam sidang di
kantor KPPU, Jakarta, Kamis 13 Oktober 2016. Kamser menyatakan, ke-12 perusahaan
itu diputus bersalah karena terbukti bersepakat melakukan afkir dini induk ayam
(parent stock) pada 14 September 2015 lalu. Bahkan, kesepakatan itu
dicapai setelah serangkaian pertemuan yang dilakukan yang dilakukan sejak 25
Februari 2015. Afkir dini induk ayam yang dilakukan para pelaku usaha, secara
langsung merugikan peternak ayam skala kecil karena harga bibit ayam jadi mahal.
Namun, secara tidak langsung juga merugikan konsumen karena harga daging ayam
di pasaran turut terkerek naik. Rinciannya, pada Agustus 2015, harga bibit ayam
tak lebih dari Rp 4.200 per ekor. Namun setelah afkir dini 2 juta ekor induk
ayam pada Oktober 2015, harga bibit ayam di tangan peternak menjadi Rp
4.500-6.000 per ekor. Dengan demikian, total kerugian peternak dari selisih itu
mencapai kisaran Rp 224 miliar
B. ANALISA KASUS
Pengertian Kartel
kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya.
Dengan perkataan lain, kartel (cartel)
adalah kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk
mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli
terhadap komoditas atau industri tertentu
Pasal yang dilanggar
Pasal 11 undang – undang
no 5 tahun 1999
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan
pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.”
Analisis :
Dari kasus tersebut perjanjian
yang dilakukan oleh ke 12 peusahaan yang bersepakat melakukan afkir dini induk
ayam (parent stock) telah sesuai dengan unsur pada pasal 11 pertama
yaitu Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,
dilihat dari kasus kartel ayam bahwa kesepakatan yang dicapai setelah
serangkaian pertemuan yang dilakukan membuktikan bahwa telah terjadi adanya
perjanjian melalui kesepakatan tersebut
yang dilakukan oleh ke 12 perusahaan. Sedangkan unsur dari pasal 11 kedua
adalah bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa telah sesuai dengan kasus kartel ayam ini
karena pada kasus ini Afkir dini induk ayam yang dilakukan para pelaku usaha,
secara langsung merugikan peternak ayam skala kecil karena harga bibit ayam
jadi mahal. Namun, secara tidak langsung juga merugikan konsumen karena harga
daging ayam di pasaran turut terkerek naik. harga bibit ayam tak lebih dari Rp
4.200 per ekor. Namun setelah afkir dini 2 juta ekor induk ayam pada Oktober
2015, harga bibit ayam di tangan peternak menjadi Rp 4.500-6.000 per ekor.
Dengan demikian, total kerugian peternak dari selisih itu mencapai kisaran Rp
224 miliar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keiatan yang dilakukan oleh ke12
perusahaan telah mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat, karena akibat perjanjian tersebut peternak yang merupakan
peternak ayam skla kecil merugi dan disisi lain juga merugikan pihak konsumen
selaku pembeli.
0 Response to "Analisa Kasus Kartel Ayam Yang Dilakukan Oleh 12 Perusahaan Besar "
Post a Comment